August 2018 - Dhini Anggia

Wednesday, August 15, 2018

Mengenal Budaya Madura: Karapan Sapi (Pacuan Sapi)

August 15, 2018 0 Comments

Berbicara soal budaya Madura, tentu saja tak lepas dari tradisi yang sangat autentik ini yaitu Karapan Sapi. Untuk readers yang belum tahu, sebenernya apa sih tradisi Karapan Sapi? Tradisi ini merupakan festival pacuan sapi yang diadakan rutin setiap tahun oleh masyarakat Madura. Nah untuk tahun 2018 ini akan dilaksanakan pada bulan Oktober (cwiiw). Festival ini bahkan diperlombakan untuk memenangkan piala bergilir presiden lho.

Sumber: http://matamaduranews.com/

Lalu apa sih yang melatarbelakangi munculnya tradisi ini? Dari beberapa sumber mengatakan bahwa mulanya, sapi-sapi yang dimiliki para warga ini dimanfaatkan untuk menggemburkan tanah yang ada di Madura agar masyarakat dapat bertani. Seperti diketahui, wilayah Madura merupakan wilayah pesisir, sehingga pekerjaan sebagian besar masyarakat merupakan nelayan. Namun, tentu saja menjadi seorang nelayan tak selamanya bisa melaut karena terkadang kondisi alam yang tak dapat ditebak. Kemudian muncullah salah satu tokoh masyarakat yang memiliki gagasan untuk memanfaatkan sapi agar dapat menggemburkan tanah. Beliau memperkenalkan pada masyarakat Madura teknik membajak sawah menggunakan dua bambu atau kayu yang dipasang di badan sapi untuk menggemburkan tanah. Hal inilah yang kemudian menjadikan banyaknya masyarakat Madura yang memiliki sapi.
Lambat laun, metode tersebut berhasil membuat tanah Madura yang semula gersang, menjadi tanah yang subur dan gembur sehingga dapat digunakan untuk bertani. Kegembiraan masyarakat Madura akan hal tersebut kemudian diwujudkan dengan membuat suatu pesta rakyat sebagai bentuk syukur mereka atas berlimpahnya hasil panen yang didapat. Dari sinilah kemudian tradisi perlombaan atau pacuan sapi tersebut bermula. Warga memanfaatkan areal tanah sawah yang sudah dipanen untuk perlombaan sapi-sapi tersebut. Hal inilah yang kemudian hingga saat ini menjadi sebuah tradisi budaya bagi masyarakat Madura dengan sebutan “Karapan Sapi”. Tak hanya sebagai ungkapan rasa syukur, namun saat ini tradisi Karapan Sapi juga merupakan ajang yang sangat prestise bagi siapa saja yang mengikuti dan memenangkannya.
Sebelum hari perlombaan berlangsung, pemiliki sapi memiliki berbagai macam treatment untuk sapi-sapi yang mereka miliki. Mereka memperlakukan sapi secara istimewa agar sapi-sapi tersebut kuat dan dapat memenangkan lomba. Berbagai hal sangat diperhatikan mulai dari makanan dan asupan gizi, latihan, penampilan atau postur tubuh sapi, hingga aksesoris yang harus digunakan oleh para sapi. Hal ini untuk menunjang performa sapi yang mana tak hanya dari segi kemampuan berlari sapi namun hingga penampilan sapi yang juga harus terlihat “wow”.
Biasanya, para pemilik sapi ini memberikan asupan makanan yang juga didampingi oleh jamu dan obat racikan. Hal ini agar diperoleh sapi yang kuat, sehat serta gemuk dan berotot. Tak hanya itu, terkadang sapi juga diberikan beberapa treatment pijatan pada tubuhnya. Tak ketinggalan, tentunya latihan rutin juga diwajibkan bagi “sapi kerap” yang akan mengikuti perlombaan. Semua treatment special yang diberikan pada sapi-sapi ini tentu saja juga menghabiskan biaya yang tidak murah. Namun, ketika kemenangan berhasil diperoleh maka rasa kebanggaan dan hadiah yang akan diterima si pemilik sapi jauh lebih besar dibandingkan itu semua. Bagaimana tidak, sapi-sapi yang memenangkan perlombaan pasti akan memiliki nilai jual yang lebih tinggi, bahkan hingga lima kali lipat dari harga sapi kerap normal. Lebih dari itu, dengan memenangkan piala bergilir presiden juga merupakan suatu kebanggaan yang sangat besar.
Banyak sekali jenis-jenis Karapan Sapi yang saya ketahui dari berbagai sumber dengan bermacam-macam sebutan. Namun secara umum, Karapan Sapi merupakan sebuah perlombaan dimana sapi-sapi tersebut diadu kecepatannya secara berpasangan. Sapi-sapi tersebut tentu saja tidak berlari sendiri, melainkan ada “joki” yang menungganginya. Joki tersebut tidak menunggangi sapi secara langsung, namun mereka bertumpu pada sepasang kayu atau bambu yang dipasang pada bagian belakang tubuh sapi yang diperlombakan. Tugas seorang joki ini adalah mereka harus mampu untuk membuat atau memacu sapi untuk terus berlari kencang. Tak hanya joki, ada beberapa orang yang juga sangat berperan penting dalam perlombaan ini:
 “tukang tambeng” (bertugas menahan, membuka dan melepaskan rintangan untuk berpacu), “tukang gettak” (penggertak sapi agar sapi berlari cepat), “tukang gubra” (orang-orang yang menggertak sapi dengan bersorak sorai di tepi lapangan), “tukang ngeba tali” (pembawa tali kendali sapi dari start sampai finish), “tukang nyandak”(orang yang bertugas menghentikan lari sapi setelah sampai garis finish), “tukang tonja” (orang yang bertugas menuntun sapi).”
Sumber: http://www.lontarmadura.com/
Dibalik ke-autentikan tradisi budaya Karapan Sapi yang dimiliki masyarakat Madura, ternyata ada beberapa pihak yang mengkritisi budaya ini. Salah satunya adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan para komunitas pecinta hewan. Mereka menganggap bahwa tradisi budaya ini merupakan tradisi yang menyakiti hewan, mengingat saat perlombaan sapi-sapi cenderung “dilukai” agar mereka dapat berlari kencang. Semakin sapi terluka maka akan semakin kencang ia berlari. Bentuk-bentuk penyiksaan yang kemudian membuat sebagian pihak mengkritisi antara lain dengan memukul sapi dengan cambuk yang ditempeli paku, melumurkan sesuatu yang panas (cabai, jahe, balsam, dll) pada tubuh sapi, hingga mengikat ekor sapi dengan benda-benda yang tajam dan berisik. Hal tersebut dilakukan semata-mata agar sapi dapat berlari sekencang mungkin hingga dapat memenangkan perlombaan.
Namun, terlepas dari adanya kritik dan kecaman dari pihak luar terkait dengan tradisi Karapan Sapi ini, bagi masyarakat Madura tradisi adalah warisan leluhur, dan budaya harus dilestarikan. Hal inilah yang saya percaya bahwa mengapa hingga saat ini Karapan Sapi masih ada walaupun bangsa kita telah digerus oleh perubahan zaman. Semoga tulisan kali ini bermanfaat untuk kalian semua ya readers! See you! XOXO.


Monday, August 13, 2018

Untukmu, Ibu.

August 13, 2018 0 Comments
Mungkin aku terlalu malu untuk mengatakan bahwa aku sayang padamu. Walaupun tanpa kuucapkan kau telah tau pasti bahwa aku menyayangimu. 
Mungkin terkadang aku terlalu angkuh untuk tidak mengindahkan nasehat-nasehatmu karena besarnya ego yang kumiliki.
Mungkin aku belum bisa memberi suatu hal yang dapat membuatmu bangga, walaupun pasti kau akan mengatakan bahwa apa adanya diriku telah membuatmu bangga dan bersyukur memiliki ku.
Mungkin aku belum bisa memberimu barang-barang yang kau ingini, atau bahkan sekedar memberi tanpa perlu kau meminta. Walaupun pada akhirnya kau akan mengatakan bahwa kau tak membutuhkan itu semua.
Maafkan aku yang belum sepenuhnya bisa membalas semua yang telah kau beri. Walau apapun yang akan kuberi nanti tak akan pernah bisa dan pernah cukup untuk membalasmu.
Maafkan aku apabila sejauh ini hadiah terbaik yang mampu ku berikan padamu hanyalah sebatas doa.
Kau selalu menjadi alasan dalam hal-hal terbaik yang terjadi dalam hidupku.
Ibu, semoga engkau sehat selalu. Mungkin ragamu semakin tua, namun kasih sayangmu aku yakin tak pernah lekang oleh waktu.
Dengan sepenuh hati dan hidupku, aku menyayangimu, Ibu.


13 Agustus
Dini Anggia P