Berbicara soal
budaya Madura, tentu saja tak lepas dari tradisi yang sangat autentik ini yaitu
Karapan Sapi. Untuk readers yang belum tahu, sebenernya apa sih tradisi Karapan
Sapi? Tradisi ini merupakan festival pacuan sapi yang diadakan rutin setiap
tahun oleh masyarakat Madura. Nah untuk tahun 2018 ini akan dilaksanakan pada
bulan Oktober (cwiiw). Festival ini bahkan diperlombakan untuk memenangkan
piala bergilir presiden lho.
Sumber: http://matamaduranews.com/
Lalu apa sih yang
melatarbelakangi munculnya tradisi ini? Dari beberapa sumber mengatakan bahwa
mulanya, sapi-sapi yang dimiliki para warga ini dimanfaatkan untuk menggemburkan
tanah yang ada di Madura agar masyarakat dapat bertani. Seperti diketahui,
wilayah Madura merupakan wilayah pesisir, sehingga pekerjaan sebagian besar
masyarakat merupakan nelayan. Namun, tentu saja menjadi seorang nelayan tak
selamanya bisa melaut karena terkadang kondisi alam yang tak dapat ditebak. Kemudian
muncullah salah satu tokoh masyarakat yang memiliki gagasan untuk memanfaatkan
sapi agar dapat menggemburkan tanah. Beliau memperkenalkan pada masyarakat
Madura teknik membajak sawah menggunakan dua bambu atau kayu yang dipasang di
badan sapi untuk menggemburkan tanah. Hal inilah yang kemudian menjadikan
banyaknya masyarakat Madura yang memiliki sapi.
Lambat laun,
metode tersebut berhasil membuat tanah Madura yang semula gersang, menjadi
tanah yang subur dan gembur sehingga dapat digunakan untuk bertani. Kegembiraan
masyarakat Madura akan hal tersebut kemudian diwujudkan dengan membuat suatu
pesta rakyat sebagai bentuk syukur mereka atas berlimpahnya hasil panen yang
didapat. Dari sinilah kemudian tradisi perlombaan atau pacuan sapi tersebut
bermula. Warga memanfaatkan areal tanah sawah yang sudah dipanen untuk
perlombaan sapi-sapi tersebut. Hal inilah yang kemudian hingga saat ini menjadi
sebuah tradisi budaya bagi masyarakat Madura dengan sebutan “Karapan Sapi”. Tak
hanya sebagai ungkapan rasa syukur, namun saat ini tradisi Karapan Sapi juga merupakan
ajang yang sangat prestise bagi siapa saja yang mengikuti dan memenangkannya.
Sebelum hari
perlombaan berlangsung, pemiliki sapi memiliki berbagai macam treatment untuk
sapi-sapi yang mereka miliki. Mereka memperlakukan sapi secara istimewa agar
sapi-sapi tersebut kuat dan dapat memenangkan lomba. Berbagai hal sangat
diperhatikan mulai dari makanan dan asupan gizi, latihan, penampilan atau
postur tubuh sapi, hingga aksesoris yang harus digunakan oleh para sapi. Hal ini
untuk menunjang performa sapi yang mana tak hanya dari segi kemampuan berlari
sapi namun hingga penampilan sapi yang juga harus terlihat “wow”.
Biasanya, para
pemilik sapi ini memberikan asupan makanan yang juga didampingi oleh jamu dan
obat racikan. Hal ini agar diperoleh sapi yang kuat, sehat serta gemuk dan
berotot. Tak hanya itu, terkadang sapi juga diberikan beberapa treatment pijatan
pada tubuhnya. Tak ketinggalan, tentunya latihan rutin juga diwajibkan bagi “sapi kerap” yang akan mengikuti
perlombaan. Semua treatment special yang diberikan pada sapi-sapi ini tentu
saja juga menghabiskan biaya yang tidak murah. Namun, ketika kemenangan
berhasil diperoleh maka rasa kebanggaan dan hadiah yang akan diterima si
pemilik sapi jauh lebih besar dibandingkan itu semua. Bagaimana tidak,
sapi-sapi yang memenangkan perlombaan pasti akan memiliki nilai jual yang lebih
tinggi, bahkan hingga lima kali lipat dari harga sapi kerap normal. Lebih dari itu, dengan memenangkan piala
bergilir presiden juga merupakan suatu kebanggaan yang sangat besar.
Banyak sekali
jenis-jenis Karapan Sapi yang saya ketahui dari berbagai sumber dengan
bermacam-macam sebutan. Namun secara umum, Karapan Sapi merupakan sebuah
perlombaan dimana sapi-sapi tersebut diadu kecepatannya secara berpasangan. Sapi-sapi
tersebut tentu saja tidak berlari sendiri, melainkan ada “joki” yang
menungganginya. Joki tersebut tidak menunggangi sapi secara langsung, namun
mereka bertumpu pada sepasang kayu atau bambu yang dipasang pada bagian
belakang tubuh sapi yang diperlombakan. Tugas seorang joki ini adalah mereka
harus mampu untuk membuat atau memacu sapi untuk terus berlari kencang. Tak hanya
joki, ada beberapa orang yang juga sangat berperan penting dalam perlombaan
ini:
““tukang tambeng” (bertugas menahan, membuka
dan melepaskan rintangan untuk berpacu), “tukang gettak” (penggertak sapi agar
sapi berlari cepat), “tukang gubra” (orang-orang yang menggertak sapi dengan
bersorak sorai di tepi lapangan), “tukang ngeba tali” (pembawa tali kendali
sapi dari start sampai finish), “tukang nyandak”(orang yang bertugas
menghentikan lari sapi setelah sampai garis finish), “tukang tonja” (orang yang
bertugas menuntun sapi).”
Sumber:
http://www.lontarmadura.com/
Dibalik ke-autentikan
tradisi budaya Karapan Sapi yang dimiliki masyarakat Madura, ternyata ada beberapa
pihak yang mengkritisi budaya ini. Salah satunya adalah Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dan para komunitas pecinta hewan. Mereka menganggap bahwa tradisi budaya
ini merupakan tradisi yang menyakiti hewan, mengingat saat perlombaan sapi-sapi
cenderung “dilukai” agar mereka dapat berlari kencang. Semakin sapi terluka
maka akan semakin kencang ia berlari. Bentuk-bentuk penyiksaan yang kemudian
membuat sebagian pihak mengkritisi antara lain dengan memukul sapi dengan
cambuk yang ditempeli paku, melumurkan sesuatu yang panas (cabai, jahe, balsam,
dll) pada tubuh sapi, hingga mengikat ekor sapi dengan benda-benda yang tajam
dan berisik. Hal tersebut dilakukan semata-mata agar sapi dapat berlari
sekencang mungkin hingga dapat memenangkan perlombaan.
Namun, terlepas
dari adanya kritik dan kecaman dari pihak luar terkait dengan tradisi Karapan
Sapi ini, bagi masyarakat Madura tradisi adalah warisan leluhur, dan budaya
harus dilestarikan. Hal inilah yang saya percaya bahwa mengapa hingga saat ini
Karapan Sapi masih ada walaupun bangsa kita telah digerus oleh perubahan zaman.
Semoga tulisan kali ini bermanfaat untuk kalian semua ya readers! See you!
XOXO.